MAMUJU, mekora.id – Pesta demokrasi alias pemilihan umum (Pemilu) 2024 memang telah usai 14 Februari 2024 lalu. Meski begitu, lubang hitam dari Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif itu terasa sangat menganga dan berbekas bak sobekan api di pipi kanan.
Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh lembaga pemantau Pemilu Network For Indonesian Democratic Society (Netfid) Sulawesi Barat, dalam notula yang ditulis untuk mekora.id Netfid menyebut, Pemilu 2024 ini sungguh aneh.
Betapa tidak, prosedural dan substansi dalam Pemilu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil alias (Luber Jurdil) dinilai mengalami kemunduran bahkan sejak Pemilu pertama kali digelar 1955.
Netfid melihat adanya pergeseran penyelenggara pengawasan Pemilu 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) disebut Netfid tidak berdaya dan hanya sebagai lembaga pelengkap.
Contoh kecilnya adalah keputusan DKPP terhadap peringatan keras pada Ketua KPU Hasyim Asy’ari, tidak memiliki kekuatan hukum dan terkesan hanya pemanis bagi pendengar dan pembaca di media massa.
“DKPP dan Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi seolah-olah antara ada dan tidak ada, sehingga terjadi fenomena juristocracy yaitu pengalihan persoalan legislasi ke pengadilan seperti gugatan MK soal ambang batas usia Presiden dan Wakil presiden, serta gugatan terkait Parlemen Threshold,” kata Ketua Netfid Sulawesi Barat, Alfiandi, Jumat (15/03/2024).
Sorotan tajam juga muncul dari kalangan muda, Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Mamuju, Adam Jauri melalui risalahnya mengungkap sejumlah dinamika miring dalam perhelatan Pemilu 2024.
Ambisi demagogi disebut disebut Adam Jauri, mewarna Pemilu 2024. Munculnya dukungan dari aparatur negara disebut sebagai hal lumrah.