Scroll untuk baca artikel
Example 720x720
ADVERTORIAL

Dorong Ketahanan Pangan, Sulbar Andalkan Integrasi Data dan Sinergi Program

×

Dorong Ketahanan Pangan, Sulbar Andalkan Integrasi Data dan Sinergi Program

Sebarkan artikel ini

MAMUJU, Mekora.id – Laporan Indeks Perkembangan Harga (IPH) Badan Pusat Statistik (BPS) per minggu ketiga Agustus 2025 menunjukkan Sulawesi Barat (Sulbar) mencatat penurunan paling tajam di kawasan Sulawesi, yakni –1,23 persen. Hal ini disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang diikuti secara virtual oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sulbar dari Ruang RKPD Kantor Bapperida Sulbar, Senin (25/8/2025).

Muhammad Nur Dadjwi, Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bapperida Sulbar, melaporkan bahwa secara nasional 14 provinsi mencatat kenaikan IPH, 23 provinsi mengalami penurunan, dan satu provinsi stabil.

“BPS mencatat dinamika harga pangan nasional hingga minggu ketiga Agustus 2025 dengan 14 provinsi mengalami kenaikan IPH, 23 provinsi menurun, dan satu stabil. Sumatera Utara memimpin kenaikan tertinggi (3,26 %), diikuti Aceh (2,90 %) dan Sumatera Barat (2,45 %). Sementara itu, Sulawesi Barat menonjol sebagai satu-satunya provinsi di kawasan Sulawesi yang mencatat penurunan IPH paling dalam, yakni –1,23 %. Tren ini terpicu oleh anjloknya harga cabai rawit, yang secara nasional turun hingga 18,29 persen, serta pelemahan harga beras dan daging ayam ras di provinsi tersebut.” Jelas Muhammad Nur Dadjwi saat mewakili Kepala Bapperida Sulbar, Junda Maulana dalam rapat.

Baca juga :  Nama Wagub Sulbar Diabadikan di Lapangan Bola Usai Bantu Warga Bebas dari Kasus Jeratan Perusahaan Sawit

“Sementara itu, Kabupaten Pasangkayu di Sulbar menempati posisi kedua daerah dengan penurunan IPH terdalam, –2,84 persen, sejalan dengan merosotnya harga cabai rawit lokal.” lanjut Dadjwi.

Kendati komoditas pedas mengalami koreksi, BPS mencatat lonjakan harga bawang merah sebesar 12,79 persen akibat gangguan pasokan di beberapa sentra produksi. Di sisi lain, kenaikan moderat pada cabai merah dan fluktuasi harga beras di Zona 1 (Jawa–Sulawesi) menegaskan tantangan distribusi dan ketersediaan stok.

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menekankan peran data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) yang real time dalam membantu pemerintah daerah merespons gejolak harga.

Bagi Pemprov Sulbar, catatan penurunan IPH ini menjadi sinyal perlunya penguatan rantai pasokan dan strategi stabilisasi harga bahan pokok agar beban masyarakat tidak semakin berat.

Baca juga :  DPRD dan Pemprov Sahkan RPJMD Sulbar 2025-2029 Jadi Perda, SDK : Ini Milik Pribadi Rakyat Sulbar

Dalam rapat yang dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Tomsi Tohir, pemerintah daerah diminta betul-betul mengamati permasalahan yang terjadi di lapangan, sehingga dapat memaksimalkan upaya pengendalian inflasi dengan cermat dan tepat sasaran.

Selain itu, Ia meminta kepada seluruh kepala daerah, terutama kabupaten/kota untuk mengecek kinerja jajarannya dalam menindaklanjuti hasil rakor TPID yang rutin dilaksanakan tiap pekan.

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Kementerian Dalam Negeri, masih terdapat 140 pemerintah daerah yang belum melakukan sama sekali upaya konkret terhadap pengendalian inflasi di daerah.

“Kami berharap pemerintah daerah memaksimalkan upayanya dan bekerja keras sebagai bentuk pengabdian kepada negeri dan masyarakat.” kata Tomsi Tohir.

Baca juga :  Wakil Ketua DPRD Sulbar Apresiasi Langkah Gubernur Kembalikan Penerbangan di Bandara Tampa Padang

Sementara itu, Kepala Bapperida Sulbar, Junda Maulana menegaskan bahwa Sulbar akan memaksimalkan kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat ketahanan pasokan pangan, menyelesaikan pengendalian inflasi, dan memastikan ketersediaan bahan pokok. Ini sejalan dengan Visi Gubernur Suhardi Duka dan Wakil Gubernur Salim S. Mengga, khususnya pada misi pertama, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan.

“Kami akan mengoptimalkan kolaborasi lintas sektor dan memanfaatkan data SP2KP secara maksimal untuk memperkuat ketahanan pasokan pangan. Sinergi perangkat daerah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci agar kebijakan stabilisasi harga berjalan efektif dan berdampak langsung pada kesejahteraan warga,” ujar Junda.