Lebih jauh, Aco mengkhawatirkan kerusakan ekologis yang akan ditimbulkan. Dalam dua dekade terakhir, dua perusahaan tercatat pernah melakukan penambangan di kawasan ini, yakni PT Karya Mandala Putra (2006) dan PT Tri Tunggal Utama (2014). Kedua kegiatan tambang tersebut meninggalkan kerusakan serius, termasuk penurunan populasi ikan penja yang endemik dan abrasi sungai.
“Banjir bandang yang terjadi pada tahun 2022. Menghapus 22 rumah warga di Sambalagia, Desa Salumbung, sebagai bukti nyata dari rusaknya Sungai Tubo akibat eksploitasi,” ungkap Aco.
Sebagai bentuk respons, warga Desa Tubo Poang dan Desa Salutambung yang terdiri dari tokoh adat, pemuda, petani, dan nelayan, menyatakan sikap tegas:
1. Mendesak PT Baqba Lembang Tuho menghentikan seluruh rencana pertambangan di muara Sungai Tubo dan pesisir Salutambung.
2. Mendesak Pemerintah Kabupaten Majene dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat untuk menghentikan proses pengajuan WIUP dan IUP oleh perusahaan.
3. Mendesak pemerintah mencabut status Sungai Tubo sebagai Kawasan Peruntukan Pertambangan.
4. Meminta pengakuan dan perlindungan atas wilayah tangkap nelayan di muara dan pesisir Tubo – Salutambung.