“Bahkan sekitar 90 persen wilayah Desa Pakawa masuk dalam HGU PT Pasangkayu,” tambahnya.
Diduga Lakukan Perambahan Tanpa Izin
Masalah lain yang diungkap adalah dugaan perambahan kawasan oleh perusahaan sawit tanpa izin resmi.
“Perusahaan membuka lahan besar-besaran terlebih dahulu untuk dijadikan kebun. Setelah izin keluar, ternyata luasannya lebih kecil dari yang telah dibuka. Ini bertentangan dengan prosedur,” ujar Yani, yang juga mantan anggota DPRD Pasangkayu.
Ia menjelaskan bahwa hal ini menyebabkan tumpang tindih antara HGU dan kawasan hutan lindung, karena pengukuran oleh BPN dilakukan sebelum pelepasan kawasan hutan secara resmi.
“Gambar ukur BPN terbit tahun 1994, sementara pelepasan kawasan hutan baru keluar tahun 1996. Ini pelanggaran prosedur,” tegasnya.
Digitalisasi Peta Jadi Pemicu Baru
Yani menduga persoalan makin rumit sejak diberlakukannya peta digital pada tahun 2017, yang menggantikan sistem peta manual dan memunculkan banyak kasus tumpang tindih lahan.
Ia menyimpulkan bahwa banyak perusahaan telah menelantarkan lahan HGU, yang kemudian dikuasai warga tanpa adanya penolakan dari pihak perusahaan.
“Fakta adanya bangunan pemerintah, rumah warga, hingga sertifikat masyarakat di atas HGU menunjukkan lahan tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh perusahaan,” tandas Yani.
Pemprov Diminta Tegas dan Transparan
Masyarakat berharap pemerintah bertindak tegas dan transparan dalam menyelesaikan konflik agraria ini, serta mengedepankan kepentingan rakyat tanpa mengabaikan peran dunia usaha yang taat aturan.
Wagub Salim S. Mengga menutup pertemuan dengan pesan agar masyarakat tetap sabar dan tidak terprovokasi.
“Ini negara hukum. Mari kita jaga ketenangan dan jangan mau diadu domba. Pemerintah hadir untuk menyelesaikan, bukan membiarkan,” pungkasnya.