“Kami menduga adanya upaya adu domba warga oleh perusahaan. Warga dibelah menjadi dua kubu; yang mendukung dan yang menolak tambang. Perusahaan harus bertanggung jawab atas peristiwa berdarah ini,” tegas Fajrin Rahman.
Fajrin mengungkapkan, sejak November 2024, warga Karossa bersama Budong-Budong dan Silaja secara konsisten menolak aktivitas tambang pasir yang dinilai merusak lingkungan. Bahkan, pada 16 Januari 2025, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPRD Provinsi Sulawesi Barat, telah disepakati bahwa seluruh aktivitas kapal tambang harus dihentikan hingga ada kesimpulan dan kesepakatan bersama.
Namun, PT. ASR tetap melanjutkan aktivitas, sehingga ketegangan di lapangan semakin meningkat. Sejumlah kendaraan pendukung tambang yang mencoba memasuki Desa Karossa dihalangi warga yang menolak tambang, untuk mencegah eskalasi konflik lebih luas.
“Konflik sosial ini berawal dari kehadiran tambang pasir PT. ASR. Pencabutan izin perusahaan adalah solusi untuk meredam konflik dan mengembalikan stabilitas sosial,” kata Nurwahidah Jumakir, pendamping hukum warga lainnya.
Setelah peristiwa itu, pihak kepolisian langsung menetapkan pelaku sebagai tersangka. Kasat Reskrim Polresta Mamuju, AKP M. Reza Pranata, menyebut, Penetapan RR sebagai tersangka didasarkan pada hasil penyelidikan dan gelar perkara terkait laporan polisi nomor LP/B/133/IV/2025/Resta Mamuju.
“Motif penganiayaan ini adalah rasa sakit hati atas unggahan foto orang tua pelaku dan ajakan duel yang disertai gambar senjata tajam,” jelas AKP Reza.
Saat ini RR telah diamankan dan akan diproses sesuai hukum yang berlaku.