Ia meminta aparat penegak hukum, utamanya Polda Sulawesi Barat agar berpihak pada masyarakat kecil seperti mereka. Sebab kata dia, jika tidak dilindungi dan diskriminasi ketika menolak tambang masuk wilayahnya, mereka akan mengadu pada siapa.
“Kami ini masyarakat kecil, tempat kami mengadu itu ke Bapak-Bapak Polisi. Jadi kami meminta Polda Sulbar membuka hati nurani melihat kejadian ini,” ujarnya.
Sementara perwakilan mahasiswa, Yudi Toda, dalam orasinya menyatakan pemerintah Sulawesi Barat harus lebih berhati-hati dalam memberikan izin konsesi tambang. Menurutnya, kebijakan yang terlalu longgar justru merugikan masyarakat setempat.
“Seluruh pemangku kebijakan di Sulbar harus lebih selektif dalam memberikan izin tambang agar tidak merugikan warga,” ujar Yudi.
Ia juga menegaskan bahwa aparat penegak hukum (APH) harus bersikap objektif dalam menangani kasus yang melibatkan masyarakat lokal. Khususnya bagi yang telah dilaporkan pihak perusahaan.
“Jika APH tidak netral, maka kami menduga ada permainan antara pihak kepolisian dan perusahaan tambang,” tegasnya.
Sebelumnya 21 orang penolak tambang pasir masing-masing, 17 warga Karossa, Mamuju Tengah, 3 orang warga Kalukku, dan 1 orang warga Sarasa, Kabupaten Pasangkayu, di panggil ke Polda Sulbar atas tuduhan pengrusakan dan pengancaman setelah menolak tambang.