Untuk itu JATAM mengingatkan, jika kerusakan pada proses pertambangan tersebut akan sangat berdampak pada rusaknya ekosistem, tercemarnya tanah dan air, serta paling rentan terhadap warga lokal.
“Luar biasa tingginya konsumsi air untuk operasi industri ekstraktif tambang akan menyebabkan pemenuhan air warga setempat terhalangi bahkan sering terjadi perampasan sumber air. Warga seringkali harus menyingkir untuk mencari sumber mata air baru atau bertahan dengan konsekuensi berhadapan dengan kekerasan,” imbuhnya.
Selain itu kata JATAM, hingga saat ini belum ada teknologi pengelolaan pembuangan limbah tambang aman terhadap kerusakan tanah dan tata air. Baik berupa waste-dump (kolam tailing), maupun submarine tailing disposal.
“Bahkan sering kali pengaliran limpasan air yang memiliki kandungan racun yang berbahaya dan mematikan secara sengaja dilepaskan dari kolam tailing ke sumber-sumber air warga seperti sungai. Hal ini bertujuan untuk menghindari luapan kolam limbah tailing saat hujan deras terjadi,” kata Alfarat.
Dengan realitas itu, JATAM menyebut, pemerintah mengabaikan kepentingan warga dan hanya berpihak pada investasi yang mengancam warga sekitar.
“Pengabaian atas realitas itu menunjukkan bahwa pemerintah baik itu daerah dan pusat sama sekali tidak hadir untuk untuk kepentingan warga. Mereka hanya peduli pada investasi yang juga sama sekali tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan warga dan justru menjadi sumber perusakan-penghancuran ruang hidup dan memiskinkan warga,” tutur Alfarat.