Penulis : Adam Jauri
Ketua DPC GMNI Mamuju
Kerap kali kita menemukan banyak orang yang menghina, ada pula yang memfitnah, bahkan bertindak anarki. Karena efek kebrutalan pikirannya sendiri terkait Pemilihan Umum (Pemilu), apalagi animo demokrasi yang kian hari kian memanas, benar-benar membuat bising telinga juga membuat gaduh untuk dipandang apabila para simpatisan saling berperang argumentasi di tiap ruang media sosial maupun media digital yang ada.
Pemilu, Pesta atau Perang?
Pemilu biasanya disebut-sebut sebagai “Pesta” atau istilah yang lebih akrabnya adalah Pesta Demokrasi. Namun jika kita cermati sejauh ini, maka akan tampak berbeda. Sejenak muncul dalam benak akal pikiran kecil ini, apakah Pemilu dewasa ini merupakan Pesta atau Perang?. Atau mungkin saja perang yang dimaknai sebagai pesta? tapi bisa juga sebaliknya. Mungkin sedikit terlihat konspiratif, namun ada baiknya dipikirkan kembali sebab jika Pemilihan Umum merupakan Pesta maka tidak ada lagi korban yang berjatuhan.
Jika merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pesta diartikan sebagai sebuah perayaan yang didalamnya dimaknai oleh dengan perasaan bersukaria dan kegembiraan. Baik dalam dimensi spiritual, atau asmara yang dituangkan melalui janji suci pernikahan. Dalam konteks kebudayaan, biasanya dilakukan ritual-ritual khas.
Jika merujuk pada hal diatas, setidaknya kita perlu sedikit keberanian atau sekedar menyadarkan akal pikiran dengan sedikit bumbu ketajaman berpikir untuk menganalisis kejadian saat dan informasi saat ini. Otak kita perlu sedikit diasa dalam mengolah pelbagai informasi agar menjadi hidangan yang ideal baru kemudian disimpulkan. Oleh karena kemampuan pikiranlah yang membuat seseorang dapat sadar mengenai dirinya baik dari dalam maupun dari luar.
Tetapi jika kita tangkap bahwa Pemilu adalah adalah Pesta! maka kita harus merayakannya dengan rasa suka dan riang gembira, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Namun dalam perjalanannya selalu saja Pemilu dirasakan seperti Perang, Mengapa demikian?. Padahal Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta lembaga Pemerintah yang lain mendengungkan kata Pemilu Damai, bila kita cermati diksi tersebut seperti analogi menyembunyikan granat didalam permainan bayi.
Nasionalisme Jalan Pulang
Tragedi 21-22 Mei 2019 menjadi bukti nyata betapa Pemilu membawa konflik yang meluas, berdasarkan data dari Komnas HAM, korban tewas akibat bentrok antara pendukung Calon Presiden dan aparat mengakibatkan 10 orang tewas dan 200 orang lainnya luka-luka. Kejadian itu ditengarai oleh pendukung Pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno melakukan unjuk rasa di depan KPU dan Bawaslu.
Kejadian lain terjadi di Mamuju, tepatnya di Desa Salutiwo yang merenggut nyawa seorang pendukung Calon Legislatif akibat bentrok di TPS.
Semua kejadian pelik hasil dari Pemilu 2019 menunjukkan dengan gamblang kepada kita bahwa hal tersebut merupakan akibat dari adanya penyakit yang hinggap pada tubuh demokrasi di Indonesia hingga menimbulkan patologi sosial. Hal tersebut terjadi bila kita mendalami lebih lanjut permasalahan yang ada di ruang lingkup sosial itu akibat, jadi sudah pasti ada penyebabnya. Faktor kuat yang menjadi biang masalah tersebut adalah karena kurangnya kesadaran bernegara (Nasionalisme).