Sementara itu, Ketua PMKRI Kendari, Fandi, menilai sikap anggota dewan menunjukkan watak elitis yang lebih mementingkan kenyamanan politik dan privilese pribadi dibandingkan menjalankan fungsi pengawasan serta perjuangan aspirasi masyarakat.
“Sudah berkali-kali rakyat turun ke jalan, tapi DPRD Sultra tetap diam. Minim transparansi, tidak ada komunikasi resmi, dan cenderung menutup ruang dialog dengan mahasiswa. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat,” ujar Fandi.
Dari pantauan lapangan, amarah massa semakin memuncak ketika tuntutan mereka kembali diabaikan. Aksi demonstrasi pun disertai pembakaran ban bekas sebagai simbol kekecewaan mendalam terhadap kantor perwakilan rakyat itu. Massa juga menuntut Laode Tariala, hadir langsung menemui mereka dan memberikan klarifikasi di depan publik.
Tak berhenti di luar gedung, ratusan massa kemudian bergerak masuk dan menduduki kursi rapat Paripurna DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Di dalam ruang yang seharusnya menjadi tempat perumusan kebijakan rakyat itu, mahasiswa menggelar “paripurna tandingan” untuk menindaklanjuti aspirasi yang telah mereka sampaikan sejak aksi 1 September lalu.
Dengan lantang, mereka menyebut langkah ini sebagai bukti nyata bahwa DPRD Sultra tidak lagi layak disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Hingga malam hari, mahasiswa masih bertahan di ruang Paripurna, menunggu kehadiran Ketua DPRD Sultra, Laode Tariala, yang hingga kini tak kunjung muncul di hadapan massa.













