MAJENE, Mekora.id – Rabu siang itu, (27/8/2025), Gedung Teater Baharuddin Lopa di Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) dipenuhi ratusan orang. Mahasiswa, dosen, pegiat literasi, budayawan, hingga tokoh adat, duduk berdampingan dalam suasana yang terasa hangat sekaligus khidmat.
Mereka hadir dalam sebuah sarasehan bertajuk “Memaknai Jejak, Etos, dan Nilai Juang Demmatande Menuju Indonesia Emas 2045”. Bagi sebagian orang, nama Demmatande mungkin masih samar. Namun, di Sulawesi Barat, terutama Mamasa, sosok ini adalah simbol keberanian yang tak gentar menghadapi kolonial Belanda lebih dari seabad lalu.
Acara ini bukan sekadar diskusi akademik. Ada semacam getaran emosional yang mengikat para peserta. Mereka merasa tengah ikut menuliskan babak baru sejarah—sebuah ikhtiar agar perjuangan Demmatande tidak sekadar hidup dalam cerita rakyat, melainkan mendapat pengakuan negara sebagai Pahlawan Nasional.
Rektor Unsulbar, Prof. Dr. Muhammad Abdy, dalam sambutannya mengingatkan bahwa generasi muda tak boleh kehilangan jejak para pejuang.
“Keberanian Demmatande, sikap pantang menyerahnya, adalah teladan yang harus ditanamkan. Unsulbar siap mendukung penuh proses pengusulan ini, baik melalui kajian akademik maupun ruang diskusi seperti hari ini,” ujarnya tegas.
Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang. Seakan semua yang hadir ingin menegaskan bahwa perjuangan ini bukan milik segelintir keluarga Demmatande saja, melainkan kebanggaan bersama masyarakat Sulbar.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Nama asli Demmatande adalah Daeng Matande, lahir di Paladan, Mamasa, tahun 1872. Dari garis keturunan bangsawan Tana’ Bulawan, ia tumbuh dengan pendidikan adat dan kepemimpinan sejak muda. Namun, darah bangsawan tidak membuatnya tunduk pada kolonial.
Ketika Belanda memberlakukan pajak mencekik dan kerja paksa, Demmatande memilih melawan. Ia mengangkat senjata, mengorganisir rakyat, dan menolak sistem kepala desa boneka yang hanya memperkuat kekuasaan kolonial.
Puncak perlawanan itu terjadi pada 1914 di Benteng Salubanga. Dua kali pasukan Belanda mencoba merangsek, dua kali pula mereka dipukul mundur. Barulah pada 20 Oktober, Belanda mengerahkan pasukan elit Marsose. Pertempuran berlangsung sengit. Dalam kepungan, Demmatande menolak menyerah. Ia gugur bersama istrinya dan sekitar tiga puluh pengikut setia.
Bagi Belanda, mungkin itu akhir. Tetapi bagi rakyat Mamasa, itu awal dari sebuah legenda. Semangat Demmatande tidak pernah padam, diteruskan pengikutnya dengan gerilya, dan kini terus hidup dalam ingatan kolektif.
Air Mata di Sarasehan














