JAKARTA, mekora.id – Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Komunikasi Mahasiswa Nasional Sulawesi Barat bersama dengan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional. Melakukan aksi geruduk di depan kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, di Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin, (22/7/2024) kemarin.
Dalam aksi itu mereka membentangkan spanduk berwarna merah bertuliskan “Tolak Ekspansi Industri Ekstraktif Sulawesi Barat“, mereka juga ikut membentangkan petaka yang menolak upaya pertambangan yang ada di wilayah Sulbar. Dan menyebut Sulawesi Barat Darurat Konsesi.
Juru Kampanye JATAM, Alfarhat Kasman mengatakan, Aksi ini dilakukan di tengarai upaya pemerintah pusat dan provinsi yang mempercepat laju ekspansi industri ekstraktif di Sulawesi Barat. Ekspansi dengan skala luas itu, kata Alfarhat akan mengakibatkan perluasan kerusakan bentang alam yang akan memicu bencana ekologis dan berdampak angka kemiskinan di Sulawesi Barat semakin membesar.
“Kementerian ESDM pada Juli 2022, telah mengeluarkan SK yang menjadikan seluruh ruang darat provinsi Sulawesi Barat sebagai wilayah pertambangan. Tanpa mempedulikan entitas yang hidup dan bergantung di atas tanah tersebut. Penetrasi industri ekstraktif mulai memperlihatkan kepongahannya dalam merampas ruang hidup warga. Arogansi itu di perlihatkan oleh pemerintah daerah yang dengan mudahnya memberikan izin tanpa melibatkan partisipasi warga yang nantinya menjadi korban,” tegas Alfarat.
Koalisi Masyarakat Sipil menyebut, sejumlah industri ekstraktif di Sulawesi Barat berjalan dengan proses yang menyalahi aturan yang akan berdampak pada kehidupan warga sekitar. Setidaknya ada sejumlah tambang yang ada di Kabupaten Mamuju di anggap mengancam.
Salah satunya yakni, proses pertambangan batubara di Desa Tamalea, Mamuju, yang dikelola oleh PT. Bonehau Prima Coal (BPC) dengan luas konsesi mencapai 98 hektar, dikelola tanpa dokumen Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Bahkan data JATAM menunjukan, sebagian konsesi ini masuk dalam kawasan hutan lindung. Selain itu, proses holding yang menggunakan jalan umum sempat ditutup warga, yang di anggap mengganggu dan menyebabkan polusi.
“BPC dalam mendistribusikan komoditas tambangnya menjadikan jalan umum sebagai jalur distribusi, yang mana beberapa waktu yang lalu, terdapat anak-anak yang di tabrak oleh mobil tongkang pengangkut batubara BPC,” kata Alfarat.
Sementara sektor energi, koalisi masyarakat sipil juga meminta Kementerian ESDM mengkaji ulang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang sedang berjalan dengan kapasitas 450 Megawatt di Desa Karama, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju. PLTA di pedalaman Kabupaten Mamuju itu di garap oleh PT Bukaka Karya anak perusahaan Kalla Group, milik mantan wakil presiden, Jusuf Kalla.
Selain PLTA, di Mamuju juga terdapat PLTU Batubara di Desa Belang-belang. PLTU ini di kelola oleh PT Rekind Daya Mamuju (RDM) perusahaan mayoritas sahamnya di miliki Rekayasa Industri (90%) dan Rekadaya Elektrika (10%).
“Daya rusak PLTU Batubara ini telah berdampak pada warga yang bermukim di sekitar lokasi PLTU. Mulai dari pencemaran udara dari limbah beracun fly ash & bottom ash yang di buang tepat di belakang Sekolah Dasar. Selain itu, uap yang di hasilkan dari PLTU telah membuat atap seng rumah warga cepat mengalami korosif, sementara itu RDM tidak langsung mengganti rugi atap seng rumah warga. Limbah cair dari PLTU Mamuju yang dibuang langsung ke laut telah menyebabkan hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan yang sangat drastis,” ujar Alfarat.
Rencana Pertambangan Rampas Ruang Hidup
Baru-baru ini, Kementerian ESDM melalui Badan Geologi telah mengusulkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Logam Tanah Jarang (LTJ) dengan luas konsesi 9.252 Hektar. Wilayah ini mencakup Blok Takandeang dan Blok Botteng di Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju.
Topografi lokasi pengusulan WIUP LTJ Mamuju ini, terletak di atas hulu kota Mamuju di perbukitan, kurang lebih 30 kilometer di arah utara.