Dua anak lelaki bersaudara dari kampung Salubua berjuang hidup hingga jadi polisi
MAMUJU, Mekora.id – Warga kampung jauh itu membangun rumah di bawah kaki bukit. Di kampung itu nyaris tak ada daratan yang memadai untuk dijadikan pemukiman. Tapi meski seolah tersampir di lereng perbukitan, kini 50 Kepala Keluarga (KK) tetap hidup rukun, tenteram di antara rumah rerimbun pepohonan. Itulah Salubua, satu dari 11 Lingkungan yang ada di Kelurahan Talippuki.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mamasa tahun 2024, populasi penduduk Kelurahan Talippuki sebanyak 1.365 jiwa — jumlah penduduk terbanyak kedua setelah Kelurahan Mambi: 1.933 jiwa.
Di Lingkungan Salubua hidup sepasang keluarga membangun rumah sederhana: berdiri kuat dari kayu beralas tanah dan beratap daun rumbia. Meski sederhana menjadi tempat berteduh merenda hari esok sepasang keluarga: Usman dan Tabada.
Pasangan Usman dan Tabada dikaruniai dua orang anak lelaki: Syamsuddin (55 tahun) dan Makmur (45 tahun).
Keduanya lahir di kampung Salubua dulu. Syamsuddin dan Makmur tumbuh menjadi anak petani, terwariskan dari nasib kedua orang tuanya. Sebagai keluarga petani, berempatnya sehari-hari rajin menggarap kebun kopi miliknya, juga kelola sawah berpetak kecil berundak tak jauh dari rumah mereka di kampung.
Untuk padi sendiri, keluarga ini memiliki dua jenis sawah: sawah tadah hujan berpetak dan sawah di lereng gunung yang menghasilkan Pare Bara’baq (Padi Gogo).
Di masa kecilnya dulu, Makmur ingat betul, sehari-hari keluarganya hidup dari hasil berkebun dan bertani. Dari hasil kebun dan sawah cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Di kampung-kampung pegunungan — yang dulu masih bagian Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) dalam Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sebelum terbentuk Kabupaten Mamasa (2002) dan Provinsi Sulawesi Barat (2004) — tempo dulu, petani sawah panen hanya satu kali dalam setahun. Barulah ketika teknologi dan modernisasi pertanian sampai ke pegunungan, padi bisa dipanen dua kali setahun. Itu pun baru mulai sekitar tahun 2000-an.
Padi Gogo juga demikian, hanya bisa dipanen sekali dalam setahun. Kuantitasnya tergantung, jikalau binatang buas menggasak batang-batang padi, maka hasilnya tak maksimal. Hidup sekadar cukup, dan kesehajaan keluarga ini tumbuh seiring waktu. Meski jauh dari keramaian kota, Makmur kecil punya cita-cita ingin sukses di suatu hari kelak dengan jalan sekolah.
Lingkungan Salubua berjarak dua kilometer dari ibu Kelurahan Talippuki, sekitar 3 kilometer dari Kelurahan Mambi, Ibu Kota Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa.
Di umur sekolah, Syamsuddin dan Makmur masuk Sekolah Dasar (SD) di Salubulung, Talippuki. Selama enam tahun di SD keduanya jalan kaki dari Salubua ke Salubulung, tempat satu-satunya SD terdekat masa itu.
Pulang pergi ke sekolah dijalaninya begitu tekun. Merintangi jalan setapak. Di musim penghujan, ia memayungi kepala dan buku tulis dalam kempitan dengan selembar daun pisang.
Tamat SD perjuangan menempuh pendidikan lanjutan lebih menantang. SMP Negeri Mambi meski telatif jauh, 5 kilometer dari Salubua, Syamsuddin dan Makmur sudah terlatih berjalan kaki, dan keduanya jalani hingga tamat di SMP Mambi.
Selama sekolah di SMP Mambi, Syamsuddin dan Makmur setiap dua kali sepekan membantu ibu memikul sayur-mayur untuk dijual di Pasar Mambi.
Pasar besar Mambi — pasar ramai — di hari Kamis dan pasar kecil hari Senin. Di sore hari, sehari sebelum hari pasar tiba, Syamsuddin dan Makmur cekatan bersama Ibu memetik dan mengumpul sayuran. Pukul tiga dini hari dalam seragam sekolah — lebih sering bertiga dengan Ibu — berangkat dari Salubua ke Mambi.
Ketika tiba di Ba’ba Lemba, kampung pertama sekitar setengah kilometer sebelum pasar Mambi, mereka istirahat sejenak: cuci kaki dari lumpur lalu pakai sepatu, seterusnya ke pasar. Setelah barang jualan ditaruh ditempat dalam penjagaan ibunya, Syamsuddin dan Makmur berulah menuju ke sekolah, SMP Negeri Mambi.
Makmur tak mengenal gengsi. Bisa membantu ibu jualan sayur, ada tambahan pendapatan untuk kebutuhan keseharian mereka di kampung.
Pulang sekolah selepas siang, di saat yang sama waktu pasar berakhir, Makmur kembali menemui Ibunya mengambil hasil belanjaan: ikan, minyak goreng, garam dan kebutuhan dasar dapur lainnya dibawa pulang ke rumah mereka di Salubua.
Bocah Makmur yang Kekar
Terlatih secara alamiah sebagai anak kampung di pegunungan. Saban pulang sekolah di SD dulu, Makmur ikut membantu ayah-ibunya di kebun dan di sawah. Menjelang malam, ia kembali ke rumah dengan memikul kayu bakar untuk digunakan mananak nasi dan memanaskan air di dapur.
Selain sudah terbiasa selama 6 tahun di SD, bolak-balik jalan kaki selama pulang pergi sekolah di SMP Mambi selama tiga tahun membentuk kaki Makmur kokoh.
Tekad Makmur untuk terus sekolah formal begitu kuat ditambah dorongan ibu dan bapaknya yang selalu memberinya semangat.
“Sebenarnya waktu tamat di SMP Mambi, saya sudah hampir putus harapan untuk sekolah lanjutan atas di kota. Kami kan petani, hidup masih susah. Tapi saya nekad berangkat ke Parepare untuk melanjutkan sekolah SLTA,” kata Makmur di Mamuju, Selasa malam, 16 Desember 2025.
Setelah tamat SMP Negeri Mambi tahun 1996, Makmur berangkat ke kota niaga dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Parepare, Sulawesi Selatan. Tiga tahun kemudian, setelah lulus sekolah tingkat lanjutan atas, tak ada impian besar Makmur selain harus kembali ke kampung Salubua untuk melanjutkan perkerjaan bertani dan berkebun, membantu kedua orang tuanya.
Meski sudah mengantongi ijazah SLTA, seperti yang ia kisahkan pada Selasa, 16 Desember, cukup baginya dan perjalanan selanjutkan ia pasrahkan pada Yang Kuasa. Akhir tahun 1999 dan sepanjang 2000 adalah masa-masa menikmati hasil perkebunan komoditas kopi yang pernah dirintisnya sejak masih kecil dulu bersama kakak Syamduddin.
“Terkadang saya sendiri jalan kaki ke Mambi pikul biji kopi kering dalam karung untuk dijual di pasar,” cerita Makmur. Dan, itu menurutnya, “Saya nikmati, senang sudah bisa punya uang hasil dari kerja keras sejak kecil. Alhamdulillah,” Makmur bersyukur.
Kesyukuran Makmur terbesar bisa sekolah sampai di lanjutan atas: bisa baca tulis. “Itu sudah lebih dari cukup.” Lalu, jalan hidupnya pun berbelok, melangkahi jauh dari sekadar bisa baca tulis.
Berkarir Jadi Polisi
Tahun 2001. Hasil tabungan menjual kopi ditambah melego sepetak kecil sawah milik keluarga, terkumpul uang Rp4 juta. “Uang itu saya pakai mendaftar masuk polisi, termasuk bekal selama tinggal lima bulan di Makassar,” cerita Makmur.
Setelah resmi memakai seragam cokelat, Makmur ditugaskan di Polres Sidrap, Sulawesi Selatan, tahun 2002 hingga 2006. Selama di Sidrap itulah ia mulai belajar ilmu penyidikan (Reserse).
Tahin 2006 ia dipindahkan ke Polres Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat — provinsi hasil pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004. Di saat berada di posisi Min Polres Mamuju, di tahun itu juga ia dipindah tugaskan ke Penghubung Polda Sulawesi Barat — cikal bakal Polda Sulawesi Barat.
Seorang polisi tentu ia bangga menjadi bagian dari personil yang dilibatkan merintis kehadiran Polda Sulawesi Barat di tahun 2004 itu.
“Mulai sejak awal, seperti penentuan lokasi pembangunan kantor Polda Sulawesi Barat,” ujar Makmur. Ia ingat, dulu sebetulnya lokasi awal di sekitar Rangas, Mamuju, tapi itu dianggap tak cocok. Kemudian ditemukan lokasi di Kalubibing, Mamuju, dan itulah lokasi tempat berdirinya Markas Polda Sulawesi Barat seperti yang ada sekarang.
Terkait lokasi di Kalubibing yang disepakati oleh tim, jalannyq tak begitu mulus. Warga Desa Kalubibing, Kecamatan Mamuju, sempat menolak. Bahkan, sebut Makmur, warga memagar jalan masuk ke lolasi tempat pembangunan Mapolda Sulawesi Barat. Alasan warga, salah satunya, menuntut harga tanah yang oleh tim dianggap terlampau mahal.
Oleh pimpinan kemudian memercayakan kepada Makmur, yang notabene memiliki hubungan kekerabatan dengan sejumlah warga di Kalubibing, mendekatinya secara persuasif dan kekeluargaan.
Pilihan ini berhasil. Polisi Makmur berhasil membujuk masyarakat Kalubibing untuk membuka blokade jalan, termasuk menerima harga yang disepakati bersama, dan itu di bawah dari harga tanah yang dituntut oleh warga sebelumnya.
Selesai soal lokasi. Dalam kapasitasnya di Penghubung Polda Sulawesi Barat juga berakhir. Saat itu tahun 2007. Polsek Kalukku — wilayah kerja Polres Mamuju — membutuhkan personil untuk mengerjakan tugas atas kasus 9 orang tahanan di Polsek Kalukku, sementara petugas Kanitresnya sedang sakit.
Dengan begitu Makmur kemudian dipindah-tugaskan ke Polsek Kalukku untuk membereskan berkas 9 orang tahanan yang masa penahanannya akan segera berakhir. Setelah mendapat Surat Perintah dari Kapolres Mamuju, Makmur bergegas ke Polsek Kalukku.
“Saya bermalam, begadang 4 malam, kerja non-stop mengerjakan berkas tahanan yang sudah mau berakhir semua,” ujarnya.
Cerita Makmur, hanya waktu satu minggu di Polsek Kalukku pekerjaan itu selesai dan berkas kasus tersebut sudah bisa dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Mamuju. Keberhasilan ini menjadikan Makmur seterusnya berdinas sebagai Reserse di Polsek Kalukku, hingga tahun 2011.
Makmur sedikit bangga. Ia katakan, jajaran Polsek di wilayah kerja Polres Mamuju, Polsek Kalukku yang dipimpinnya selalu nomor satu dalam hal penanganan kasus. Kasus tindak pidana khusus yang sering ditangani Polsek Kalukku seperti Illegal Loging, tindak pidana migas (BBM Bersubsidi), dan pengedaran uang rupiah palsu.
Tindak pidana umum seperti perampokan, pembunuhan, dan pencurian kendaraam bermotor (curanmor) semua bisa diungkap oleh Polsek Kalukku. Dan, oleh pimpinannya di Polres Mamuju dianggap hal itu kesuksesan di bidang reserse oleh sosok polisi Makmur.
Selain memberi kebanggaan pada institusi Polri, Makmur diberi Piagam Penghargaan. Piagam ini kemudian menjadi salah satu bahan yang berarti, ia gunakan sebagai tambahan kelengkapan berkas ketika pihaknya sekolah Perwira Polisi (2018).
Menurutnya, tak ada catatan yang istimewa. Tahun 2011 Makmur dipindahtugaskan ke Polsek Tommo, salah satu kecamatan relatif jauh dari Ibu Kota Mamuju, atau kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng).
Di Tommo ia menjabat (Pj) sebagai Kanit Reskrim karena pangkatnya baru Brigadir, seharusnya pangkat Bripka menduduki jabatan itu.
Di Polsek Tommo, dalam catatan Makmur, kasus yang pernah ia tangani hanya berupa tindak pidana ringan (tipiring), dan cara penyelesaiannya dilakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. “Hanya kasus ringan, tidak seberat kasus di Kalukku,” ujarnya.
Genap setahun di Polsek Tommo, Kapolres Mamuju menempatkannya kembali di Polres Mamuju: Pj Kanit Pidum. Mengapa hanya jadi penjabat (Pj)? “Pangkat saya belum sampai. Seharusnya dijabat oleh personil dengan pangkat Bripda. Makanya saat menjabat, saya tak dapat tunjangan,” kata Makmur sumringah.
Lima tahun lebih lamanya penjabat (Pj) Kanit Pidum Polres Mamuju. Ketika pulang sekolah Perwira selama 7 bulan di tahun 2018 di Sukabumi, Jawa Batat, Makmur justru berada di level dengan suasana yang relatif baru. Pimpinannya langsung menempatkannya di Polda Sulawesi Barat — Polda yang baru terbentuk secara resmi.













