Dalam laporan itu, Hasri dkk melampirkan sejumlah bukti dokumen yang diserahkan langsung ke penyidik Polda Sulbar. Barang Bukti itu diantaranya :
- Salinan Sertifikat HGU PT Letawa
- Peta overlay wilayah HGU vs operasional aktual
- Dokumentasi foto/video lapangan
- Surat keterangan warga dan pemerintah desa
- Bukti ketiadaan IUP di wilayah yang disengketakan
- Kronologi konflik agraria, serta
- Testimoni masyarakat terdampak.
Dari laporan ini, APSP melalui kuasa hukumnya, Hasri meminta Polda Sulbar untuk segera melakukan penyidikan terhadap dugaan pidana korporasi, mengecek lahan dengan BPN, memeriksa manajemen PT Letawa, menyita lahan dan hasil perkebunan di luar HGU, serta menerapkan sanksi pidana terhadap perusahaan.
Lebih lanjut Hasri, menyebutkan tindakan PT Letawa yang menguasai tanah tanpa HGU telah melanggar Pasal 42 dan Pasal 55 UU Perkebunan, serta Pasal 107 tentang sanksi pidana.
Jika terbukti, perusahaan bisa dijerat pidana penjara hingga 4 tahun dan denda Rp 4 miliar, dengan pemberatan denda karena dilakukan oleh korporasi.
“Perambahan lahan di luar HGU oleh PT Letawa tanpa IUP dan hak atas tanah yang sah adalah tindak pidana. Tidak ada celah hukum yang dapat digunakan untuk melegitimasi pelanggaran ini, baik menurut UU Perkebunan, UU Cipta Kerja, maupun Putusan MK,” tegas Hasri.
Berikut Uraian perkara yang disampaikan Hasri :
- PT Letawa mengelola perkebunan di luar HGU sah miliknya berdasarkan data resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
- Penggunaan tanah tersebut dilakukan tanpa dasar hukum, tanpa proses pembebasan hak atau ganti rugi kepada masyarakat
- Tidak terdapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk lokasi di luar HGU yang dikelola secara aktif
- Aktivitas tersebut menyebabkan kerugian ekonomi, sosial, dan merampas hak atas tanah masyarakat lokal
- Kegiatan di luar HGU merupakan pelanggaran hukum pidana berdasarkan UU Perkebunan dan peraturan turunannya
- Tindakan tersebut melanggar Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-XIII/2015 menegaskan bahwa pelaku usaha wajib memiliki hak atas tanah dan izin usaha secara bersamaan, tidak boleh salah satu saja.
- Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, hak atas tanah meliputi hak milik, HGU, hak guna bangunan, hak pakai, dan lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.
- PT Letawa tidak memiliki hak atas bidang tanah yang digunakan, dan karenanya melanggar Pasal 42 ayat (1) UU Perkebunan.
- Oleh karena itu, kegiatan perkebunan tersebut dilakukan secara tidak sah.
- Hal ini melanggar Pasal 55 huruf a UU Perkebunan yang melarang penggunaan dan penguasaan lahan secara tidak sah, dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 107 huruf a dan d, dengan ancaman pidana penjara hingga 4 tahun atau denda maksimal Rp4 miliar.
- Karena dilakukan oleh korporasi, maka berlaku pula ketentuan pemberatan sebagaimana Pasal 113 UU Perkebunan, yakni denda ditambah sepertiga dari pidana denda
- Dengan demikian, patut diduga PT Letawa telah melanggar Pasal 107 huruf a dan d jo. Pasal 55 huruf a jo. Pasal 42 ayat (1) jo. Pasal 113 ayat (1) UU Perkebunan yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja.
Dasar Hukum
- UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XIII/2015.
- UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
- UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
- PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.