MAMUJU, Mekora.id – Krisis iklim yang semakin pesat di abad ke-21 telah mendorong lahirnya Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim pada 12 Desember 2015 di Paris. Indonesia ikut menandatangani perjanjian ini dan meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 guna menekan laju perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Pada 2022, Indonesia membentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai langkah percepatan transisi energi, termasuk penghentian dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Langkah ini merupakan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Namun, program ini tidak luput dari kritik karena dinilai masih memberi ruang bagi industri ekstraktif.
Jurnalis Mongabay Indonesia, Agus Mawan, dalam diskusi perubahan iklim di Kantor NGO Malaqbi Institute, Mamuju, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki dua wajah dalam kebijakan iklimnya. Di satu sisi, pemerintah menunjukkan komitmen dalam perjanjian iklim global, tetapi di sisi lain tetap memberikan keleluasaan bagi industri besar yang masih bergantung pada bahan bakar fosil.
“Salah satu contoh, Indonesia berkomitmen untuk mempensiunkan PLTU sambil mengusahakan pembauran energi, tetapi di saat yang sama, masih membolehkan industri skala besar untuk membangun PLTU Captive,” ujar Agus, Senin (10/2/2025) malam.
Kebijakan yang Bertolak Belakang
Dalam perkembangannya, kebijakan iklim Indonesia dinilai bertentangan dengan komitmen global. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya memberikan lampu hijau bagi deforestasi demi ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang berencana mengonversi 20 juta hektare hutan untuk kebutuhan pangan dan energi.
Dampak dari kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi lingkungan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa pada 2020, Indonesia memiliki 120,3 juta hektare kawasan hutan negara. Namun, hampir separuhnya (46,5% atau 55,93 juta hektare) tidak dikelola secara intensif, termasuk 30 juta hektare yang berada di bawah wewenang pemerintah daerah.
“Dalam 100 hari kerja pertama Prabowo, bahkan muncul ucapan dari salah satu pejabat yang menyiratkan keinginan Indonesia untuk keluar dari Kesepakatan Paris, meniru kebijakan Donald Trump saat menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat,” tambah Agus.