MAMUJU, Mekora.id — Gelaran Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Catur ke-50 di Mamuju, Sulawesi Barat, yang seharusnya menjadi kebanggaan daerah, berakhir dengan catatan memalukan. Di balik kemeriahan penutupan pada Rabu (12/11/2025), muncul serangkaian masalah serius yang menyorot lemahnya manajemen penyelenggaraan — mulai dari tunggakan hotel, keluhan peserta, hingga hadiah juara yang belum diserahkan.
Puncak kekisruhan terjadi sesaat setelah acara penutupan. Beberapa panitia dilaporkan dihalang keluar dari area hotel tempat mereka menginap karena pihak manajemen menagih pelunasan biaya yang belum dibayar.
“Benar, pihak hotel menahan panitia karena masih ada tagihan yang belum diselesaikan,” ungkap salah satu sumber internal kepada Mekora.id yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Peristiwa ini cepat menyebar di kalangan peserta dan ofisial, bahkan menjadi perbincangan di grup-grup pesan singkat para pecatur dari berbagai daerah. Banyak yang menyebut insiden itu memalukan dan mencoreng nama baik Sulbar sebagai tuan rumah.
Atlet Luar Daerah Jadi Korban: Dipaksa Keluar Sebelum Penutupan
Ironisnya, sebelum kejadian itu, sejumlah atlet dari luar daerah sudah lebih dulu terkena dampaknya. Beberapa kontingen, termasuk yang menginap di Hotel Grand Putra, mengaku dipaksa check-out sehari sebelum penutupan karena panitia belum juga melunasi tagihan penginapan mereka.
“Kami datang sebagai tamu, diundang bertanding, tapi diperlakukan seperti ini. Jujur, kami kecewa,” ujar salah seorang ofisial kontingen yang terdampak.
Keluhan soal Konsumsi dan Hadiah yang Tak Kunjung Diterima
Masalah lain muncul dari sisi konsumsi. Sejumlah peserta mengeluhkan makanan yang datang terlambat dan menu yang monoton selama turnamen berlangsung.
“Makanan sering telat, kadang lewat jam makan. Menunya juga itu-itu saja, padahal ini event nasional,” kata salah satu atlet dari luar Sulbar.
Kontingen DKI Jakarta, yang berhasil menjadi juara umum Kejurnas Catur ke-50, disebut belum menerima hadiah pembinaan yang dijanjikan. Mereka hanya mendapatkan plakat penghargaan tanpa kejelasan kapan hadiah utama akan diserahkan.
Sumber internal panitia juga mengungkapkan, kekacauan ini tak lepas dari campur tangan pihak di luar struktur resmi panitia.
Ada dugaan kuat, kegiatan ini dikendalikan pihak luar yang disebut-sebut turut mengatur urusan keuangan dan logistik.
“Banyak keputusan teknis diambil di luar rapat resmi panitia. Akibatnya, koordinasi amburadul,” kata salah satu anggota panitia lokal yang enggan disebutkan namanya.
Hingga berita ini diterbitkan, Ketua Pengprov Percasi Sulbar, Muhammad Jayadi, belum memberikan keterangan resmi terkait insiden tersebut.
Atlet Lokal Mengeluh: “Papan Catur Saja Kami Tak Punya”
Di tengah kekacauan itu, muncul pula suara lirih dari atlet catur Sulbar sendiri.
Mereka mengaku terbebani oleh target tinggi untuk meraih gelar Master Nasional (MN) tanpa dukungan fasilitas yang memadai.
“Bagaimana kami mau latihan serius? Kami dipaksa berprestasi, tapi tak difasilitasi,” kata salah satu atlet yunior dengan nada kecewa.
Lebih lanjut, ia menambahkan, “Jangankan TC atau try out. Papan catur standar saja kami tidak punya di tempat latihan. Kami mau latihan pakai apa?”
Ungkapan itu menjadi tamparan keras bagi instansi terkait. Sulbar sebagai tuan rumah justru memperlihatkan kondisi pembinaan olahraga yang masih jauh dari layak.
Kini, masyarakat dan pecinta olahraga catur menunggu respons dari Pengprov Percasi Sulbar, KONI, dan Dispora Sulbar.
Apakah berbagai masalah ini akan ditindaklanjuti secara serius — atau hanya menjadi cerita pahit dari sebuah Kejurnas yang seharusnya membanggakan?











