Salah satu momen paling mengharukan dalam sarasehan itu datang dari Irvandi Demmatande, ahli waris langsung sang pejuang. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan rasa haru melihat dukungan publik.
“Perjuangan ini bukan lagi milik keluarga kami. Ini sudah menjadi kebanggaan Sulawesi Barat. Solidaritas ini membuat kami yakin, semangat Demmatande akan selalu hidup,” ucapnya, menahan air mata.
Sejumlah budayawan dan akademisi juga hadir memberi pandangan. Mereka sepakat, Demmatande bukan hanya pejuang bersenjata, tapi juga simbol perlawanan rakyat kecil melawan ketidakadilan.
Menuju Pengakuan Negara
Hingga kini, proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Demmatande sudah masuk tahap penting. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GD) Kementerian Sosial telah menyatakan bahwa syarat-syarat formil terpenuhi. Kini tinggal menunggu sidang Dewan Gelar sebelum diajukan ke Presiden.
Bagi masyarakat Sulbar, pengakuan ini bukan sekadar penghargaan pada seorang tokoh, melainkan validasi atas sejarah panjang perlawanan mereka.
“Ini bukan hanya soal masa lalu,” kata salah seorang mahasiswa usai acara. “Ini tentang bagaimana semangat juang itu bisa kita hidupkan lagi untuk membangun bangsa, menuju Indonesia Emas 2045.”
Jejak yang Menggema
Ketika malam mulai turun di Majene, sarasehan pun ditutup dengan pembacaan puisi dan pameran ilustrasi perjuangan Demmatande. Lampu temaram, alunan musik, dan ratusan wajah yang larut dalam suasana—semua meninggalkan kesan mendalam.
Seabad lebih setelah gugurnya di Benteng Salubanga, nama Demmatande kini kembali menggema. Dari Mamasa, Polewali, hingga Majene, semangatnya melintasi generasi.
Dan lewat suara-suara yang berkumpul di Unsulbar hari itu, publik Sulbar sedang menegaskan satu hal: Demmatande layak dikenang, bukan sekadar dalam cerita, tetapi dalam sejarah bangsa sebagai Pahlawan Nasional.
