Dalam laporan JATAM, perusahaan ekstraktif seperti perusahaan tambang batu bara PT. Bonehau Prima Coal (BPC) di Desa Tamalea Tua, Kecamatan Bonehau, Mamuju, kini sedang konflik dengan masyarakat lokal. Permasalahan itu timbul akibat penggunaan jalan umum dan pengelolaan tambang yang berada di kawasan hutan produksi terbatas.
“Luas konsesi BPC sebesar 98 hektar, dan sekitar 80% konsesi ini berada dalam kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT), tanpa adanya alas hukum izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH),” ungkap Alfarat.
Sementara di Polewali Mandar, ada PT. Isco Polman Resources, perusahaan tambang untuk komoditas timbal dengan luas konsesi 199 hektar yang berada dalam kawasan hutan lindung.
PT. Isco Iron juga memiliki konsesi tambang bijih besi dengan luas 943 hektar, tidak mengantongi IPKKH.
Selain itu perusahaan ini juga memiliki wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Blok Pasiang, yang merupakan komoditas mineral kritis galena dengan luas konsesi 1.867 hektar.
“Fakta-fakta ini yang sama sekali tidak disebutkan oleh masing-masing Paslon. Mengingat pengusaha tambang tersebut berpotensi menjadi penyandang dana bagi paslon itu sendiri,” tutur Alfarhat.
Selain itu, masing-masing pasangan calon juga diduga terdeteksi pada industri ekstraktif baik itu secara langsung dan tidak langsung. Salah satunya dengan memberikan karpet merah bagi investasi di sektor bisnis kotor ini.
“Dari kondisi ini pula, kita dapat menyimpulkan pilkada ini hanya akan menjadi sumber bencana bagi warga Sulawesi barat,” pungkasnya.